Jumat, 08 Maret 2013

PUISI 2,7


BIRU

kulepas sauh rindu
tuk mengejar wangi bayangmu

Ktpg, 26 Jan 2013


DI BATAS SENJA

angan, angin, ingin
selalu menggoda bibir merah

Ktpg, 23 Jan 2013


SETERU

deru keruh memburu
saling telikung menggebu gemuruh

Ketapang, 23 Januari 2013

SUATU SORE DI SIMPANG ALE-ALE


undang bulan menanggalkan kabut petang,
gadisku bingung

Ktpag, 2 Feb 2013


 K U R S I

berapa yang kau mau
aku berani bayar!

Ktpg, 25012013


MERINDU

rinduku tak bertepi
bergulunggulung mencari sandaran hati

Ktpg, 27 Jan 2013

SAJAK, II

tarian kata setubuhi rasa
mengadon rimarima puitis

Ktpg, 28 Jan 2013


 KISAH TERAKHIR

separuh bulan kata
mengarung sepi tanpa malam

Ktpg, 23 Jan 2013


 A J A L

lelah hasrat cumbui waktu
berkejaran menyekat nafas

Ktpg, 27 Jan 2013  

SAJAK BUAT IMRON TOHARI

duatujuhmu meledakledak
menyeret kata tuk membangun makna

Ktpg, 1 Feb 2013


PERJALANAN RINDU

syairku ngembara tanpa sayap
menembus sumsum hatimu

Ktpg, 31 Jan 2013


PENGEMBARAAN ASA

melata hari mengulum senyum
membekap nadi waktu

Ktpg, 31 Jan 2013

DALAM KAMAR

hampa, kebisingan mengendur tuli
pulas memeluk guling

Ktpg, 29
Jan 2013


SANG ORATOR

kau kemas katakata puitis
dalam lautan prasangka

Ktpg, 29 Jan 2013


CINTA SETENGAH MATI

kulipat rindu dalam saku hati
arungi mimpi

Ktpg, 30 Jan 2013



DENDANG PAWAN

kurayau senja kurayu dinda
ayu parasmu menggoda

Ktpg, 8 Feb 2013


PESONA

bening matamu menggugur sejuk
menyaput retakan hati

Ktpg, 9 Feb 2013


NEGERI PARA KURAWA

hurahura : harta tahta wanita
huru hara : prahara

Ktpg, 11 Feb 2013


PEMBURU RINDU

meninting asmara sepanjang ruang hati 
luahkan rasarasa

Ktpg, 7 Feb 2013


PRASANGKA

bulan tua mengendus kebusukan malam
lelapku terjaga

Ktpg, 4 Feb 2013


PENANTIAN


rebah dalam pangkuan malam
gelisah mengukur fajar

Ktpg, 14 Feb 2013


ABSURD

kata – makna enggan bersenyawa
dalam perjamuan darah

Ktpg, 18 Feb 2013


MONAS DALAM BERITA

tutur santun menantang
puncak  maut menunggu janji

Ktpg, 23 Feb 2013


PRAHARA

simbolsimbol durjana menjalar 
pada kanvas yang terburai

Ktpg, 6 Maret 2013



GENDAM

kupagar rembulan dengan mantra malam
; meregang kepayang

Ktpg, 6 Maret 2013


SAMPAH

aroma kebusukan nyengat
merekat pada nafas pecundang

Ktpg, 8 Maret 2013


SAJAK KOPI

pekat menuang liur kesepakatan
lahirkan bualanbualan semata

Ktpg, 8 Maret 2013









Kamis, 14 Februari 2013

CERPEN


SIDANG PARA BULAN


Kupacu laju Vespa bututku menuju ke arah desa Sungai Awan Kanan. Terik mentari siang ini terasa begitu menyengat. Tak kuhiraukan. Yang penting sekarang aku harus sampai ke tujuan, on time di sana. Ini adalah hari terpenting buatku. Hari ini aku diundang   oleh sahabatku,  Raja Agung  Surya Jagad Semesta. Pemimpin Kerajaan Tata Surya. Pemilik terang dan panas di seluruh jagad ini. Aku diminta hadir sebagai penasehat pribadi. Kedengarannya aneh untuk logika orang awam, tapi tidak untukku. Ini sesuatu yang nyata dan gaib di mata terawangku.
Bantuan apa yang diinginkannya pun aku belum tahu pasti. Menurut rumor yang kudapat dari  dalam istana,  sang Raja merasa gusar dengan selentingan yang beredar saat ini, adanya gerakan makar dari para bulan yang bernaung di bumi. Apa tujuan makar itu sendiri belumlah jelas. Menurut sumber tadi lagi, sebetulnya baru wacana saja, kebenarannya belumlah absah. Gerakan  tersebut hanya bersifat  sporadis. Tidak terstruktur dan terencana, dalam bentuk perang atau pemberontakan. Untuk lebih sahihnya Raja akan mengadakan sidang darurat, dengan agenda khusus;  menyidang para bulan.  Konsekwensi dari demokrasi peradaban.

Tak terasa  aku sudah tiba di Dusun Darussalam, tempat di mana rencana penjemputan  akan berlangsung. Tepatnya di Pantai Air Mati, sebuah pantai yang banyak menyimpan misteri. Jarak dari jalan besar tidaklah jauh. Untuk mencapai pantai dibutuhkan waktu limabelas menit. Jalannya tidak semulus yang kita kira. Sebagian jalan beraspal kasar bercampur kerikil tajam. Banyak lobang menganga. Akibat sering tergerus hujan dan air pasang. Benar-benar tak terawat.  Sebagian jalan ke arah dalam berpasir. Bagi yang tak biasa mengendarai motor di atas pasir pasti jadi kendala. Paling tidak masih dapat dilalui kendaraan bermotor.

Sepanjang jalan menuju pantai  banyak ditumbuhi pohon Akasia dan pohon kayu Ubar. Teduh. Apalagi di saat sang Raja Surya sedang murka. Sampai juga aku  di pantai yang indah dan penuh misteri ini. Menjejakkan langkah di atas hamparan pasir bisu. Sepi. Tak ada pengunjung. Dari kejauhan hanya tampak beberapa orang  sedang memasang jaring di bagian laut yang dangkal untuk menangkap ikan.

Segera kucari tempat  untuk melepas penat. Hitung-hitung, sambil menunggu jemputan dari utusan kerajaan.  Kurebahkan badan di bawah pohon Ubar yang kokoh berdiri di bibir pantai. Belai angin tak kurasa nyaman, lantaran ditebas  amarah matahari. Untung saja pepohonan di sekitar sini ramah. Menyejukkan suhu badan yang labil. Janjinya pukul 15.00 aku akan dijemput dan dibawa ke kerajaan oleh Hulubalang Bianglala, jembatan abadi yang hanya bisa muncul kalau langit mencurahkan butir-butir hujan ke muka bumi ini. Jangankan turun hujan, panas semakin menjadi. Berasa hingga ke tubuhku.

Belum berapa lama aku memejamkan mata. Samar-samar terdengar teriakan dari arah laut, “ Cepat naik ke darat, jang ! Hujan panas. Nanti kita kesambatan.”

Akhirnya hujan turun juga. Hujan panas. Menurut kebiasaan orang tua zaman dulu, tak baik jika berhujan panas, bisa menjadi penyakit. Menurut mereka lagi, setiap hujan panas pasti disertai hadirnya setan-iblis. Maka muncullah istilah kesambatan, yang mempunyai makna; ditegur mahluk halus. Logikanya saat ini, karena terjadi perubahan suhu yang begitu cepat, panas disertai hujan, tubuh kita belum siap merespon kondisi. Biasanya orang akan demam. Ya - sudahlah, itu kepercayaan yang terlanjur mengakar pada sebagian penduduk dusun sini, tidak patut untuk dipermasalahkan. Biarkan saja hujan turun, berarti jemputan akan segera datang. Betul. Tak lama berselang, dari kejauhan bianglala muncul membias dengan tujuh rupa warna. Membentuk lengkungan panjang bagai jembatan. Dengan senyum tipis ia menyapaku, “ Naiklah ke hamparan aneka warnaku, Tuan Penasehat,”

Tanpa berlama-lama aku bergegas menaiki titian bertangga tujuh warna itu. Petualangan sensaional dimulai. Perjalanan menuju Kerajaan Tata Surya. Kunjungan spektakuler di abad ini, menghadiri sidang para bulan.

Tak dapat kulukiskan betapa indahnya pemandangan dari atas sini. Luar biasa. Maha karya megah Sang Pencipta yang tak ada bandingannya. Takjub dan tersugesti keindahan semesta, aku tak menghiraukan perjalanan ini. Dan tiba-tiba saja aku sudah berada di sebuah tempat yang amat asing. Jujur, aku belum pernah melihat tempat yang seperti ini. Luar biasa. Indah ? Tidak juga. Tandus tanpa pepohonan. Di sekelilingnya terjaga oleh semburan cahaya kemerah-merahan. Melingkar membentuk bulatan. Itu sepertinya api keabadian milik Sang Raja. Harusnya tak sebuah benda atau mahluk hidup dapat bertahan pada kondisi seperti ini. Pasti hancur-lebur, karena suhu di sini 150 juta derajad Celcius. Tapi tidak berlaku bagiku. Entah, tubuhku seperti dilindungi oleh sesuatu yang tahan panas, sekali pun panas matahari. Inilah istimewanya menjadi tamu khusus di kerajaan ini. Keamanan  benar-benar menjadi suatu yang penting.

@@@

Saat ini aku sudah berada dalam ruang sidang, sebuah ruangan bergaya dan bercorak ala kuil kuno dalam kisah kerajaan. Artefak khas  kerajaan dari dinasti-dinasti zaman Hindu yang berada di Nusantara. Layaknya seorang raja, Raja Agung Surya Jagad Semesta duduk dengan gagah di singgasana berlapis logam kekuningan. Warna yang merupakan simbol keabadiannya. Di sisinya, duduk dengan anggun sang permaisuri Ratu Kartika Terang Angkasa. Dua kepribadian yang saling menyeimbangkan alam, siang – malam.

Permadani beludru berwarna merah keemasan terhampar di depan singgasana, menambah garang suasana.  Di kiri – kanan Raja, duduk berderet para wakil dari  Dewan Negara Kerajaan yang beranggotakan seluruh planet beserta para orbitnya.  Mereka diwakili oleh Kesatria, gelar untuk pemimpin planet, sesuai dengan nama planet bersangkutan; Kesatria Mars mewakili planet Mars dan berlaku bagi planet-planet lainnya. Selain itu hadir juga ke duabelas bulan yang bernaung di bumi, Januari hingga Desember, ditambah dengan duabelas zodiaknya, Capricorn hingga Sagitarius.

“ Paduka Yang Mulia, semua undangan telah hadir. Mohon petunjuk,” kata Mahapatih Korona memecahkan keheningan.

Dengan tatapan tajam. Tegas - bersahaja. Ia mulai angkat bicara, “ Selamat datang di Istanaku ! Sengaja  aku memanggil kalian semua ke persidangan khusus hari ini, aku ingin mengetahui kebenaran berita yang selama ini telah mengusik hatiku. Aku ingin mendengar langsung dari para bulan yang bernaung di bumi.”

Semua terdiam. Saling pandang. Tiba-tiba muncul sekelebat bayangan hitam, mendekat kearah raja, dan membisikinya.  Selang berapa  saat , bayangan misterius itu bergegas pergi meninggalkan sidang. Sepertinya ia terburu-buru. Hilang secepat angin. Tanpa bekas. Tampaknya ia sangat penting bagi raja. Barangkali ia telik sandi kerajaan. Ini hanya dugaanku saja.

“ Menurut laporan yang kuperoleh, ada konspirasi antar oknum bulan dengan salah satu dari kalian yang hadir disini.  Januari ! Apa  benar kalian merencanakan untuk merubah konstitusi, merubah jumlah bulan dalam setahun menjadi 24 bulan ?” tanya Raja Surya. Suaranya yang besar serak membahana di segenap ruang sidang. Panas. Murkanya mulai memburat.

“ Maaf, Tuanku. Saya tidak tahu soal ini. Saya pernah mendengar selentingan tersebut. Tapi sungguh, tak ada niatan sekecil apa pun  untuk melakukan hal seburuk itu. Entahlah kalau ada diantara kawa-kawan lain yang menginginkannya,” jelas Januari.

“ Tuanku, kalau boleh hamba tegaskan. Kami dari 12 bulan yang ada tak pernah berencana untuk membuat suatu apa pun yang sifatnya merusak sistem kami sendiri. Kami tahu, ini sudah takdir  kami yang bernaung di bumi hanya diberi usia 365 hari dalam setahun. Tapi kalau memang ada di  antara kami yang menginginkan demikian, kami berharap berikan hukuman yang pantas,” ujar Agustus.

Raja  diam sejenak. Tak bergeming. Matanya melotot. Menatap tajam pada semua hadirin. Dihela napas dalam-dalam, lantas ia melanjutkan, “ Aku punya bukti dan saksi yang kuat, salah satu di antara kalian ada yang terlibat. Ia  sudah memprovokasi ke 12 zodiak untuk  merubah takdir bulan. Scorpio ! Beritahu siapa yang telah mengajak dan menghasut kalian. Merubah konstitusi berarti menentangku !”

“ Ya, Tuanku ! Kamilah yang merencanakan semua ini. Tak ada yang menyuruh dan menunggangi kami. Kami ingin sejajar dengan para bulan yang sah dan diakui dunia.     Apa bedanya kami dengan mereka ? Dengan segala hormat, anda seorang pemimpin yang bijak, sudah sepantasnya di zaman demokrasi ini anda memikirkan hak serta nasib kami. Tanpa kehadiran kami, manusia di bumi tidak akan pernah tahu tentang karakter dan sifat mereka. Pertimbangkan ini, Tuanku !” ucap Scorpio berapi-api.
Raja Surya bukanlah seorang pemimpin yang bodoh. Ia tidak begitu saja percaya dengan keterangan yang disampaikan oleh bawahannya. Ia hanya sekedar memancing saja, ia ingin tahu lebih dalam lagi siapa dalang sesungguhnya.

“ Kesatria Bumi ! Bagaimana menurutmu ?  Kau sebagai pemimpin di duniamu, harusnya kau bisa mendeteksi semua ini. Tidak perlu sampai ada sidang seperti ini. Apa saja yang kau kerjakan, pasti tak pernah becus. Jadi pemimpin jangan hanya berdiam diri. Jangan plin-plan. Jangan lemah. Lihat,  akibat kecerobohanmu ! Kau biarkan penghuni dunia membabat seluruh hutanmu hingga gundul. Bencana silih berganti melanda negerimu. Kau biarkan kebobrokan moral merusak peradaban. Kau suburkan benih kekacauan dan kemungkaran merajalela. Jangankan mengayomi mereka, kau malah dipecundangi para manusia,” kata Raja Surya gusar.

Bumi hanya tertunduk diam. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Malu. Aku agak tersinggung dengan kata-kata Raja Surya yang terakhir tadi. Tidak semua manusia begitu, menurutku. Hingga detik ini aku sebagai penasehatnya belum dimintai pendapat. Aneh. Tidak biasa-biasanya ia bersikap seperti ini padaku. Aku mulai berburuk sangka. Apa ini hanya perasaanku saja. Atau ada hal lain di balik perkara ini. Ya – semoga dugaanku meleset.

“ Sahabatku, Penasehat yang bijak ! Apa pendapatmu tentang perkara ini ?” tiba-tiba ia berkata. Membuyarkan lamunanku. Ternyata dugaanku memang meleset.

“ Lumrah, Tuanku. Ini konsekwensinya anda membuka kran demokrasi di kerajaan ini. Keinginan mereka tidak berlebihan menurut saya, karena ini masih merupakan wacana, masih dalam rel yang benar. Jadi atau tidak jadi bukan soal bagi mereka. Paling penting buat mereka, aspirasi sudah dikemukakan. Perlu diingat, kami di bumi sudah diberi keleluasaan untuk beraktivitas selama 365 hari dalam setahun. Itu sudah permanen, tidak bisa diganggu gugat. Saya yakin ini semata bukan sekedar kemauan mereka para bulan beserta zodiak untuk duduk sama rata. Ini bukan sebuah kelaziman, tapi sebuah kezaliman moral. Menurut  saya, ada satu hal yang ‘mereka’ inginkan lebih dari ini. Merekalah biang dari kekacauan ini. Silahkan cernai kata-kata saya ini,” kataku lugas. Entah dari mana aku bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu. Lidah ini serasa dituntun oleh sebuah kekuatan magis yang tak kuketahui dari mana datangnya.

“ Tuanku, setelah kami selidiki. Ternyata ini gawenya Februari, ia sengaja menghasut para zodiak untuk merubah sistem mereka. Dengan dukungan dan bergabungnya para zodiak, ia berharap akan menjadi pimpinan bulan di bumi menggeser Januari. Ia terobsesi untuk memiliki waktu penuh. Selama ini waktunya paling pendek diantara  yang lain. Saya punya sumber yang dapat dipercaya !” ungkap  Korona.

Belum sempat Februari membela diri, tiba-tiba muncul seseorang menuju persidangan. Pluto. Ya – mantan Kesatria yang telah dibuang dari tatanan kerajaan muncul secara mengejutkan. Para kesatria lain bangkit dari duduknya dan bersiap menghunuskan senjata.

“ Tenang semua ! Sarungkan kembali senjata kalian !” perintah Sang Raja meredam para bawahannya.

“ Tapi…Tuanku …!” kata Kesatria Uranus emosi.

“ Diam ! Biarkan ia masuk. Aku yang memintanya kemari. Ia punya sesuatu yang bisa memecahkan misteri ini. Tunggu apa lagi Pluto, katakan apa yang kau ketahui.”

“ Baiklah. Apa yang dikatakan Korona benar. Februari adalah dalang dari kekisruhan ini. Tapi perannya hanya sebatas bidak saja. Masih ada pemeran utamanya. Selama ini anda telah berbuat kekeliruan, Tuanku. Tanpa sadar anda telah memelihara penghianat dan mempercayai segala perkataannya. Ia sudah berhasil memperdayai dan memecah belah tatanan yang anda pimpin. Ha…ha…ha…”
" Siapa yang kau maksud, Pluto ? Katakan saja ! Aku tak segan-segan untuk menangkap dan menghukumnya, sekali pun itu orang kepercayaanku !,” ujar Raja Surya marah. Wajahnya memerah. Panas. Seisi ruangan berubah panas. Semua saling berpandangan. Saling mencurigai. Perkataan Pluto bagai bom waktu bagi mereka. Memicu adrenalin. Suasana runyam tak menentu. Sedang Pluto tersenyum kecil, senyum kemenangan.

Aku merasa ada yang tak beres. Bukan pada Pluto. Atau pada mereka yang berada di ruang sidang ini. Ada yang tak beres dalam diriku. Ada yang coba memisahkan diri dari ragaku. Berlawanan rasa, hitam – putih, aku tak kuasa membendung pergumulan antara keduanya. Sungguh menyakitkan.

Tanpa kuduga, Pluto berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arahku, “ Ia biang keladinya ! Ia yang merencanakan semua ini. Ia ingin memperpanjang usianya dengan cara menambahkan bulan menjadi 24. Ia takut mati. Ia merasa belum mampu menghapus semua dosa-dosanya. Ia ingin merubah kodrat manusia. Ha…ha…kalian semua sudah tertipu..ha..ha.Tawanya semakin keras dan memekakkan telinga.

Dan…..wuusss…tiba-tiba Pluto bersalin rupa menjadi sekelebat bayangan hitam.  Bayangan yang tadi menghampiri raja. Lebih menyakitkan, bayangan misterius itu adalah bayanganku sendiri. Bayangan yang tak mau tertinggal oleh tuannya. Ia ingin aku yang menjadi bayangannya. Rupanya sejak awal raja sudah tahu , kalau aku pelakunya.  Dan ini dimanfaatkan oleh bayanganku untuk menghasut raja. Berhasil. Hanya menunggu waktu. Pantas saja kalau ia murka besar. Dengan penuh kebencian ia menarik pedang keramatnya, lantas menghunuskan besi tajam itu ke tubuhku. Dan tepat bersarang di dadaku.  Darah segar bermuncratan ke segala penjuru. Aku limbung. Nafasku tinggal satu-satu. Aku melayang. Tak ingat apa-apa lagi.“ Bruuaakkkk……” tanpa sadar aku jatuh di atas pasir putih. Di tempat semula aku menantikan jemputan. Di Pantai Air Mati. Aku coba bangkit. Sempoyongan.

Baru beberapa saat   tersadar, aku dikejutkan oleh hingar-bingarnya suara manusia. Sontak pandanganku tertuju tepat di bawah pohon kayu Ubar, tempat di mana aku merebahkan badanku. Orang ramai menyemut. Aku  mendekati,  dan coba mencari tahu.

“ Pak...pak...! Ada apa ya ?” ujarku sambil menepuk pundak seorang laki-laki tua. Ia tak merespon panggilanku. Berulang-ulang kulakukan. Sama. Tetap tak ada jawaban. Ya – Allah, rupanya mereka semua tak bisa melihat dan mendengarkan perkataanku. Apakah aku sudah mati ? Apakah yang sedang dikerumuni mereka itu jasadku.

“ Kasihan ya pemuda ini. Ia meninggal dunia, kesambatan hujan panas rupanya !” kata laki-laki tua tadi. Yang lain hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Iba terhadap nasib jasadku. Dan akhirnya atas inisiatif warga jasadku dibawa menjauh dari sini. Entah kemana. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Diam meratapi nasibku yang malang. Tinggal dalam sepi bersama desir pantai.  Aku dikhianati oleh bayanganku sendiri. Sungguh menyakitkan.*****

Selasa, 12 Februari 2013

CERPEN


P U I N G

Malam menua. Menusuk sekujur tubuh. Perasaanku tak karu-karuan malam ini. Tidak seperti biasanya. Mencekam. Malam ini merupakan malam terakhirku di rumah ini, karena besok kami sekeluarga harus meninggalkan rumah kesayangan. Rumah yang selama tigapuluh tahun kami diami, semenjak aku dan saudara-saudaraku lahir, dibesarkan, hingga beranjak dewasa.

Akhirnya dengan terpaksa, kompleks ini akan tergusur oleh lajunya pertumbuhan kota. Tuntutan zaman yang tidak bisa dielakkan lagi. Padahal, sudah delapan tahun terakhir ini kami para penghuni kompleks memperjuangkan hak-hak agar tak tergusur. Mengingat kompleks ini mempunyai nilai-nilai sejarah yang semestinya tidak hanya dihargai dengan segepok uang, tapi juga dari segi moral dan nilai-nilai perjuangan.

Sudah hampir tiga jam lebih aku mengutak-ngatik Ipad,  sebuah mesin canggih yang sedang ngetren saat ini. Hasil jerih payahku selama aku bekerja. Namun tak satu pun ide yang berhasil kutuang ke layar di hadapanku. Bahkan sudah lebih dari tiga cangkir kopi kureguk untuk melancarkan proses peracikan obsesiku.

Nyatanya, masih saja belum ada tanda-tanda yang menggembirakan kalau-kalau ide itu akan menjadi sebuah ujud yang transparan.

Sedari tadi kursor itu hanya bergerak turun naik, maju mundur. Terus begitu, tanpa ada yang bisa dibentuk. Kalau saja bisa bicara pasti ia akan mengeluh dan memaki. Itulah resikonya. Nasib sudah terancang dan terprogram. Mau berontak tak mungkin. Takut tersisihkan dari peradaban modern. Zaman yang serba canggih, selalu di bawah kendali sang konseptor.

Aku benar-benar sangat penasaran dengan perubahan dan situasi yang terjadi pada diriku, sepertinya ada sesuatu keinginan yang ingin kumuntahkan. Sesungguhnya keinginanku sukar dimengerti dan dinilai dengan apapun. Namun sangat berarti sekali bagi diriku. Untuk sementara ini belum dapat aku gambarkan. Kalau pun bisa, entahlah apa yang bisa kuperbuat lebih lanjut. Pastinya hati kecilku akan merasa plong.

Barangkali saja, ini menyangkut harkat dan martabat kebanyakan wong cilik. Orang yang haknya selalu dihimpit dan diinjak-injak wong gede, orang yang merasa berbudaya dan memiliki moral santun. Nyatanya nyeleneh dan bejat.

Sekali lagi, kureguk kopi tadi hingga tinggal tetes terakhir. Sampai detik ini juga apa yang menjadi obsesiku belum lagi menjadi kenyataan. Tidak biasa-biasanya terbelenggu dalam benak. Seperti rahasia tak terpecahkan. Wujudnya tak tampak. Hanya bisa dirasa. Hawa di luar sana terasa kian menusuk tubuh, terasa dingin. Apalagi dinding kamar ini hanya terbalutkan seng saja, itupun masih untung bisa berdinding. Rumah ini  berbentuk kopel. Satu bangunan dijadikan dua rumah. Rumah tetangga sebelah sudah terlebih dulu dibongkar. Biasanya kamar ini tidak pernah disentuh matahari. Mau tidak mau aku harus merasakan bagaimana panasnya kalau siang dan dinginnya kalau malam.

Pemborongnya pun sudah tak sabaran, ingin cepat-cepat merobohkan bangunan. Rumahku pun tak luput dari gedoran godam-godam. Membuat sebagian dari dinding kamar nyaris runtuh. Wajar saja, karena waktu bagi mereka sangat berharga. Waktu adalah uang, mundur sedetik saja bagi mereka sudah dianggap merugikan.

Malam kian menua, pucat rembulan tertunduk lesu. Sayup-sayup gerai daun Kedondong pecahkan heningnya suasana. Sesekali lolong anjing liar menambah kontrasnya irama malam. Berbayang bulan tiga perempat digenggam risau burung hantu. Kopi terakhir pun ludes. Manisnya tak nyata lagi direguk angan yang samar.

Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang aneh. Sebuah kekuatan gaib menarik-narik alam bawah sadarku. Begitu kuatnya hingga sukar kuelakkan. Halusinasi. Bukan! Pikiranku terhipnotis terjebak hitam pekatnya kemilau dunia maya. Semua inderaku kaku. Tanpa perlawanan yang berarti, ragaku, sukmaku dibungkamnya, mengikuti apa yang menjadi kehendak kekuatan supranatural itu. Perlahan demi perlahan ujud halusku beranjak meninggalkan wadagnya, dan kekuatan itu kini membimbing rohku menuju ke sebuah alam yang asing, alam yang belum pernah kukenali sebelumnya.

Pemandangan dan suasana di tempat itu begitu sunyi.Menyeramkan. Berhias kabut tipis berwarna kehijau-hijauan. Nampak sederetan rumah berbentuk kopel, sepertinya ini adalah tangsi militer peninggalan kolonialisme Belanda, bisa dilihat dari bentuk serta corak arsitektur bangunannya. Ada sekitar 50an rumah. Hanya saja tak ada tanda-tanda kehidupan di sana, suasana  aneh yang kudapati.

Dan tepat pada sebuah pojok rumah, letaknya paling ujung sekali, ada sebuah kolam besar. Mungkin bekas pemandian serdadu-serdadu kala itu. Di sampingnya ada sebuah pohon Beringin tua. Pohon itu kekar bagai raksasa. Kutaksir umurnya kira-kira satu abad.

Samar-samar kulihat di rumah yang paling ujung tadi, ada seberkas cahaya berwarna kemerah-merahan, berkedip-kedip. Seperti mata iblis.  mengisyaratkanku untuk segera ke sana. Dengan hati was-was dan bercampur rasa penasaran, kuberanikan diri untuk mendekati cahaya tadi. Ternyata cahaya tersebut berasal dari sebuah lampion usang, yang tergantung tepat di tengah teras.

“Jangan takut Anak Muda! Mendekatlah kemari, aku ingin bercerita sesuatu kepadamu. Paaling tidak dapat kau jadikan bekal dan petunjuk jika engkau kembali ke alammu nanti,” sebuah suara mengagetkanku.

Entah dari mana datangnya suara tadi, kucoba mencari, tapi tak satu pun orang yang kutemui di sekitar sini. Kecuali cahaya kemerah-merahan itu, lantaran di sekelilingku gelap gulita.

“Anak Muda aku di sini, akulah si cahaya merah itu!” panggilnya.

Aku terkejut dan terkesiap sejenak. Kulihat cahaya itu berkedip-kedip lagi. Aku tahu, jika cahaya itu berkedip-kedip lagi berarti dia bicara padaku. Mengapa lampion itu bisa bicara ? Rasanya mustahil, namun itulah kenyataan yang sedang kuhadapi.

“Kemungkinan selalu bisa terjadi, Anak Muda! Rohku berada di lampion tua ini. Sebenarnya aku dulu juga seperti ayahmu, seorang Serdadu. Serdadu yang terlupakan. Kehidupanku penuh penderitaan, tidak seperti kehidupan yang dirasakan kawan-kawan seperjuanganku, yang sempat menikmati kemewahan. Malang nian nasib ini, karena aku terlampau idealis,”  kata suara itu lirih.

“Aku dulu juga pernah tinggal di sini. Ini adalah gambaran masa lampau dari kompleks yang kalian huni. Bertahun-tahun kami memperjuangkan keberadaan rumah-rumah ini, demi penerus kami kelak, nyatanya perjuangan kami tak pernah di hargai.”
Aku hanya bisa terdiam. Membisu. Emoh untuk menjawab,  tanpa aku jawab pun suara itu seakan tahu jalan pikiranku, apa yang ingin kuungkapkan bisa dibacanya. Jadi lebih baik diam saja.

“Aku merasa dikecewakan oleh kondisi yang terjadi di masamu. Rumah-rumah yang seharusnya kalian pelihara dan pertahankan karena memiliki nilai historis, dengan begitu gampangnya digusur hanya lantaran diiming-imingi kertas berharga. Budaya macam apa ini ? Di manakah penghargaan dan rasa hormat kalian terhadap kami ? Pendahulu-pendahulu kalian yang memperjuangkan semua ini hingga bisa kalian nikmati. Kalian selalu memikirkan harta saja, tapi lupa apa makna perjuangan,” artikulasinya semakin membesar. Memekakkan telingaku.

“Tapi inikan demi pembangunan, dan pengembangan kota. Kemajuan kota dirasa sudah kian mendesak,” aku mulai buka bicara.

“Benar katamu, Anak Muda! Tapi ingat, semuanya harus dipertimbangkan baik buruknya, dampaknya terhadap hak-hak dan rasa keadilan kalian juga. Apakah tidak ada alternatif lainnya, agar tidak perlu menggeser nilai-nilai sejarah, yang dengan susah payah kami pertaruhkan,” suara itu selalu saja membuatku tak berdaya, mati kutu.

Kini aku kembali bungkam. Diam, mencerna kata-katanya tadi.

“Kau tahu, sebentar lagi semuanya ini akan berubah menjadi puing – ya - puing. Puing selalu ada di mana-mana, selalu dihadirkan tangan manusia,” kembali suara itu mengeluh.  Miris.

Aku terhenyak. Benar juga perkataanya tadi, tak lama lagi rumah ini akan berubah menjadi puing. Ke mana kami harus pergi. Sampai detik ini kami pun belum mendapatkan penggantinya.

“Puing, di zaman yang serba moderen ini, di mana globalisasi melanda dunia, terkadang selalu muncul dan direkayasa dari kecurangan-kecurangan manusia semata, yang selalu mengatas namakan rakyat demi kepentingan pribadi. Banyak kejadian yang bisa kita ambil hikmahnya, kebakaran yang melanda rumah-rumah, pertokoan, pabrik, kondominium, dan masih banyak lagi. Apa yang mereka inginkan? Mau tahu, mereka hanya mengharapkan klaim dari selembar kertas bernilai, yang kerap mereka sebut dengan “asuransi”. Puing identik eksesnya dengan keserakahan manusia,” kata-katanya makin sinis. Penuh  sindiran. Sepertinya mewakili suara hatiku yang gundah.

Lagi-lagi aku hanya bisa berdiam diri. Otak ini kian beku.

“Satu lagi, ini berkenaan dengan gusur-menggusur. Biasanya para penghuni selalu menjadi bulan-bulanan, dan kerap dirugikan, moril maupun materil. Sementara si pembeli atau pemborong bertindak sewenang-wenang. Semau gue. Tanpa kenal kompromi, lantas tergusurlah hak-hak manusia. Terkadang, setelah menjadi puing, reruntuhannya akan dijadikan asset sekumpulan orang yang dijuluki pemulung. Tadinya nasib dan hak mereka juga sama dengan kalian. Tergusur! Puing berganti wajah, dijadikan pusat perbelanjaan, swalayan, mall, hotel, kondominium, atau bahkan dijadikan lapangan golf,” lama-kelamaan ucapannya membuat darahku mendidih. Aku pun limbung.

“Celakanya lagi, jika yang menjadi puing adalah hati dan perasaan para penghuni, yang merasa dirampas haknya. Masa depan mereka dipatahkan dan diperkosa oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab, lantaran disumpal segepok fulus. Sudah jatuh ketimpa tangga, sudah sengsara semakin menderita pula,” suara itu makin mengeras. Sekujur tubuhku menggigil dibuatnya.

“Puing, dari puing akan lahirlah sebuah elegi tentang penderitaan manusia, terciptalah syair-syair kemelaratan. Puing, yang sengsara tetap saja yang di bawah...,” pandanganku mulai nanar. Pekat. Sekelilingku terasa gulita. Tak ada lagi yang bisa kurasa saat ini.

“Aaaakkkhh ...,” erangku berkelonjotan. Cahaya berwarna kemerah-merahan itu serasa mencekik leherku. Aku coba melawan dan berontak, namun sia-sia. Tubuhku melayang jauh. Jauh sekali. Kembali menuju alam nyata.

“Nak.... nak...sadarlah! Istighfarlah !” seseorang mengguncangkan tubuhku. Ibu rupanya.

“Astagfirullahal’adzim!”

Aku tersadar dari tidurku. Memandang sekelilingku. Aku bingung seketika lantaran dinding kamarku sudah bobol, rumah pun sudah ambruk. Puing-puing berserakan di mana-mana. Kulihat, ibu, bapak, dan adik-adikku berdiri tertunduk lesu.

Seberkas sinar kecewa terlukis di raut mereka. Mereka benar-benar menderita. Aku hanya bisa diam. Tak mampu mengeluarkan kata-kata.

Dan, kemudian terdengarlah sebuah orkestra dukana. Komposisi iramanya tertata apik dari bunyi-bunyian yang ada di sekitar kami. Ada suara godam, linggis, dan puing-puing berjatuhan. Namun terasa sumbang di hati, hatiku, dan hati semua penghuni kompleks ini.*****

Dinamika News Lampung 14 Juni 2012.